Setelah Seabad Muhammadiyah

  • Oleh Ibnu Djarir

Tajdid mengandung dua pengertian. Pertama, purifikasi atau pemurnian ajaran. Kedua, dinamisasi, yaitu pembaharuan dan pengembangan dalam bidang
muamalah dunyawiah.

BERDASARKAN perhitungan kalender Hijriah, 25 November 2009, Persyarikatan Muhammadiyah genap berusia satu abad. Telah banyak amal usaha yang dilaksanakan, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, tabligh, maupun bisnis, yang tersebar di seluruh pelosok Tanah Air.

Penyelenggaraan amal usaha tersebut memerlukan dana yang sangat besar karena menyangkut pengadaan prasarana dan sarana serta pengerahan sumber daya insani dalam jumlah yang sangat banyak. Semua itu pada hakikatnya merupakan sumbangan masyarakat, dalam hal ini adalah warga Muhammadiyah, terhadap bangsa dan negara Indonesia.

Salah satu karakteristik Muhammadiyah adalah sebagai gerakan sosial keagamaan. Hal ini sesuai dengan pesan pandirinya, yakni KH Ahmad  Dahlan agar warga organisasi tersebut mengutamakan amal saleh atau amal sosial keagamaan yang nyata.  Jangan hanya pandai bicara saja. Bahkan ia menyampaikan sebuah sesanti, ”Sedikit bicara, banyak bekerja”. Oleh karena itu KH Ahmad Dahlan sering disebut sebagai mujaddid (pembaharu) yang bertipe  ”man of action”.

Sejalan dengan pemikirannya itu maka sekelompok umat Islam, baru bisa dibenarkan mendirikan Pimpinan Ranting Muhammadiyah kalau mereka sudah mampu mendirikan salah satu amal usaha, seperti: masjid, madrasah, sekolah, panti asuhan atau balai kesehatan. Penggunanan istilah ”gerakan” dimaksudkan, Muhammadiyah adalah organisasi yang aktif dan transformatif, artinya selalu ada kegiatan dan berupaya mengubah masyarakat ke arah kemajuan.

Karena selama satu abad ini warga Muhammadiyah sibuk menekuni amal usaha, maka mereka kurang terlatih dalam bidang politik praktis. Akibatnya Muhammadiyah kekurangan stok politikus. Hal ini bersumber dari kebijakan yang digariskan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, bahwa organisasi ini tidak akan terjun ke politik praktis.  Aspirasi-aspirasi politiknya disalurkan melalui cara yang disebut high politics, yaitu Muhammadiyah tidak akan menjadi partai politik, sedangkan visi politiknya difokuskan pada memberikan sumbangan pikiran untuk membangun moral politik bangsa.

Kebijakan tersebut berlandaskan fakta sejarah, bahwa partai-partai politik di Indonesia ini tidak ada yang berumur panjang. Lihat saja, PNI, Masyumi, PSI, PKI, Murba, dan lain-lain. Di samping itu keberadaan partai politik selalu hanya menjadi milik segolongan warga masyarakat. Dengan tetap menjadi organisasi sosial keagamaan ternyata Muhammadiyah tetap survive hingga telah berumur  satu abad.

Selain itu, sebagai organisasi dakwah, Muhammadiyah harus mendekati seluruh warga masyarakat, apa pun suku dan aspirasi politiknya. Seperti dinyatakan oleh Prof A Syafi’i Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah, sebagai organisasi dakwah, Muhammadiyah hendaknya mencari kawan sebanyak-banyaknya.
Evaluasi dan Revaluasi   Kekuasaan tertinggi dalam Muhammadiyah adalah muktamar lima tahun sekali. Dari muktamar ke muktamar selalu dilakukan evaluasi dan revaluasi atas kebijakan, program-program, dan langkah-langkah yang diambil oleh organisasi tersebut.

Dalam Muktamar ke-45 di Malang awal Juli 2005 dilaporkan, penyelenggaraan amal usaha mengalami perkembangan yang menggembirakan. Namun pencapaian prestasi yang lebih baik dan lebih maju harus selalu diupayakan. Di antaranya perlu diupayakan program-program unggulan dalam semua jenis amal usaha.

Memerhatikan keadaan masyarakat kita sekarang ini yang dalam banyak hal masih carut marut, timbul pemikiran di kalangan para pemimpin organisasi tersebut, agar pimpinan dan warga Muhammadiyah meningkatkan peranannya untuk memperbaiki kepincangan-kepincangan yang terjadi dalam masyarakat.  Pertama, kemerosotan moral sebagian besar bangsa kita yang sudah cukup parah, yang melanda seluruh lapisan masyarakat, dari rakyat kecil hingga pejabat tinggi, dan dari berbagai umur, dari anak-anak hingga orang berusia lanjut.

Kedua, praktik-praktik kegiatan politik yang suram, seperti manipulasi data, money politics, suap-menyuap dalam penyusunan undang-undang, lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan konstituen, dan lain-lain.

Ketiga, penegakan hukum yang hingga sekarang masih dirasakan seolah hanya sebagai slogan yang indah, karena rakyat belum melihat terwujudnya keadilan hukum yang sesungguhnya, bahkan yang sering menjadi keluhan masyarakat ialah adanya mafia pengadilan.

Keempat, kesenjangan sosial ekonomi yang masih lebar, sehingga banyak rakyat kecil yang hidup sengsara dan merasa belum menikmati manfaatnya menjadi bangsa yang merdeka. Di antara keluhan rakyat kecil ialah anak-anak mereka sulit untuk bisa menuntut ilmu hingga ke perguruan tinggi, lebih-lebih perguruan tinggi yang favorit.

Menghadapi kepincangan-kepincangan tersebut, maka Muhammadiyah bertekad meningkatkan peranannya, melalui jaringan-jaringan amal usaha, dan bekerja sama dengan seluruh komponen bangsa, untuk mewujudkan masyarakat yang beradab. Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-46 yang akan diadakan di Yogyakarta pada 3 hingga 8 Juli 2010, telah ditetapkan sebuah tema, ”Gerak Melintasi Zaman: Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama”.
Maju dan Beradab Menurut Dr Nurcholis Madjid, Muhammadiyah adalah organisasi Islam modern terbesar di dunia. Di negara-negara Islam lain, terdapat juga organisasi Islam modern, tetapi jumlah anggotanya tidak sebanyak anggota Muhammadiyah. Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah memang sudah mencita-citakan untuk membimbing umat Islam menjadi umat yang maju, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Di samping itu juga mengadakan pembaharuan ( tajdid ) dalam memahami ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Alhadist. Hal ini tercermin dalam Statuten (Anggaran Dasar) Muhammadiyah pertama tahun 1912 yang berbunyi: ”Menyebarluaskan dan memajukan hal ihwal ajaran Islam di seluruh Tanah Air”. Istilah ”menyebarluaskan” artinya mendakwahkan. Istilah ”memajukan” artinya tajdid, atau pembaharuan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam.

Tajdid mengandung dua pengertian. Pertama, purifikasi atau pemurnian ajaran dalam bidang akidah dan ibadah mahdhah. Artinya dalam bidang akidah dan ibadah mahdhah, kita kembali kepada kemurnian ajaran sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW. Kedua, dinamisasi, yaitu pembaharuan dan pengembangan dalam bidang muamalah dunyawiah.

Artinya dalam masalah keduniawian, kita bisa mengadakan pembaharuan dan pengembangan sesuai dengan kemajuan iptek dan kebutuhan masyarakat. Dengan pakem ini Muhammadiyah diharapkan mampu membimbing umat menjadi umat yang maju dan berkualitas (khaira ummah) dengan tetap berpegang pada otentisitas ajaran Islam.

Dan dengan pakem ini pula diharapkan warga Muhammadiyah tidak akan terombang-ambing oleh tarik-tarikan paham sekularisme, liberalisme dan fundamentalisme. Karena warga Muhammadiyah terlatih untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial, tabligh, ekonomi, dan lain-lain, maka mereka harus bersikap ramah kepada masyarakat, menunjukkan wajah damai dan menjauhi sifat kekerasan dan radikalisme.

Untuk mengadakan perubahan masyarakat secara nasional yang berlangsung dengan damai dan demokratis, jalan yang paling tepat adalah melalui pendidikan, dengan seperangkat kurikulum yang mengarah terwujudnya masyarakat yang maju dan beradab.  Maka tugas utama pemerintah dan masyarakat sekarang ini adalah membenahi dan menyempurnakan keseluruhan faktor yang berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan. (80)

—Ibnu Djarir, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah

Post a comment or leave a trackback: Trackback URL.

Tinggalkan komentar